-->

SEJARAH PEMANGKU SARA ADAT LAKINA WALI BINONGKO DI ZAMAN KESULTANAN BUTON


SEJARAH PEMANGKU SARA ADAT LAKINA WALI
    BINONGKO  DI ZAMAN KESULTANAN BUTON

A.Latar Belakang
        . Dalam perjalanan sejarah Wali dari Ibukota Kerajaan Binongko sebelum bersatu dengan  Kerajan Buton (1333M) sampai bersatu  dengan  Kerajaan Bu-ton(1334M) yang kemudian pada zaman kesultanan Buton ke-6 Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645) telah terbentuk perwakilan Sultan Buton di Pulau Binongko yang dikenal dengan nama Kolaki/Lakina Wali.
       Lakina Wali adalah salah satu Jabatan Perwakilan Sultan Buton di Pulau Binongko sebagai Kepala Pe-merintahan Adat yang didampingi oleh Bonto Ogena  ( Siolimbona )sebagai Ketua Adat,Pangalasa sebagai Pemimpin Musyawarah Adat. Semua jabatan itu disebut Sara Hu’u(Sara  Adat).
         Di samping Sara Hu’u(Sara Adat) juga ada Sara Agama(Kasisi Masigi) yang terdiri atas Lakina Aga-ma(Kepala Sara Agama),Imam Masjid(Pemimpin Sha-lat),Khatib Masjid(Pembaca Khutbah),dan Modim Ma-sjid. Gabungan Sara Hu’u dan Sara Agama  disebut Sara Hukumu (Sara Pemegang Keputusan).

B.Lakina Wali dan Perjuangannya
1.Lakina Wali La Ode Sibi / La Ode Tili (1634-1667)
          Menurut Tradisi Lisan yang telah diceritakan oleh La Herani (2002);La Ode Muhammad Riwai (2002) sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa Wali merupakan pusat Pemerintahan Adat Binongko yang dipimpin oleh Kolaki / Lakina Wali sebagai perwakilan Sultan Buton yang semula berkedudukan di Koncu Patua Wali.
          Perlu diketahui bahwa pada tahun 1634 La Ode Sibi telah dikukuhkan oleh Sultan Buton ke-6 Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645) sebagai Wakil Sultan Buton di Pulau Binongko yang pertama yang sering disebut Kolaki / Lakina Wali, sekaligus sebagai Lakina Agama yang pertama dalam sejarah Wali Binongko. La Ode Sibi lahir di Koncu Patua Wali pada abad ke-15 (1530) saat Syekh Abdul Wahid menyiarkan Agama Islam di Pulau Binongko.Ayahnya bernama La Ode Parigia dan Ibunya bernama Wa Ode Koloure (Wa Ode Pasole) penemu Bedil Barakati di dalam Gua Mouse  Koncu Kapal Patua Raja Wali Su-mahil Tahim Alam.Sampai kini Bedil Barakati itu masih tersimpan di Wali sebagai Bukti Sejarah masa lampau.La Ode Sibi bersama Saudaranya La Ode Konse,La Ode Mimbara,La Ode Usumani,La Ode Kamali, dan Wa Ode Renda. Mereka sejak kecil telah dididik dan ditempah dengan ilmu Agama Islam karena kedua orang tuanya sangat fanatik.Sehingga dalam hal itulah La Ode Sibi setelah dewasa sering turun ke Wolio Buton untuk belajar menambah pengetahuan Agama Islam. Hubungan La Ode Sibi de-ngan Sultan Buton ke-6 Sultan Gafarul Wadudu sangat erat sehingga La Ode Sibi sering dipaggil dengan nama kesayangan La Ode Tili.
           Setelah La Ode Sibi dikukuhkan menjadi Lakina Wali ke-1 / Kepala Pemerintahan Adat sekaligus Lakina Agama ke-1(Kepala Sara Agama) maka Beliau kembali ke Binongko untuk menata  peradaban yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Masjid yang dibangun oleh Syekh Abdul Wahid yang merupakan masjid pertama (Masigi Pangulusi) Pulau  Binongko dijadikan sebagai tempat ibadah yang khusyuk.  Beliau ini tergolong seorang mukmin yang beramal semata-mata karena Allah Swt karena itulah Beliau dikenal dengan nama “ khawas.”
           Sampai kini masih nampak jelas lokasi Masjid pertama(Masigi Pangulusi) dan lokasi Baruga Sarano Wali pertama(Baruga Sarano Wali Pangulusi) Pulau Binongko. 
          Lakina Wali La Ode Sibi bersama Bonto Ogena (Siolimbona) Malahora dan Pangalasa Malanduga sangat besar jasanya dalam membangun  peradaban akhlak rohani manusia Binongko secara mapan. Di masa itu mereka sangat disegani dan disayangi oleh rakyatnya karena  sering bersama-sama dengan para sara lainnya berkunjung dari kampung ke kampung untuk mengajarkan berbagai ilmu agama Islam,sekaligus dapat mengetahui keadaan masyarakatnya.
            La Ode Sibi sebagai penerus,penata peradaban dan aturan sara adat Wali Binongko yang sesuai dengan ajaran agama Islam, yang sampai kini masih ada dan perlu dilestarikan antara lain: Adat / budaya / pake Tolu Mingku We’eli, Karia’a Wali Ajamani,Per-kawinan,Penyerahan Anak Angkat, Wandilea bagi yang baru selesai menikah dengan harapan menda-patkan keluarga yang bahagia,turunan yang shaleh dan shalehah. Di samping itu ada lagi budaya /pake mencari ikan secara tradisional yang dilakukan bersama-sama,yang ramah lingkungan yang disebut pilamba.
            Di masa pemerintahan La Ode Sibi sempat melahirkan Hukum/Aturan Adat/Sara Adat yang disebut “Tolu Mingku We’eli” dan sampai kini masih berakar dalam adat /budaya/pake Sarano Wali Binongko. Serangkaian kalimat yang berharga yang dititipkan buat anak cucunya sebagaimana disyairkan berikut ini:“Atumauri lu’uno mata’u(kutitipkan air mataku), i lawano hate’u(di pintu hatiku),o cirino hanci’u( pada tetesan kerigatku),jasadhi’u (tubuhku), rohi’u (rohku/jiwaku/nyawaku), asomo (untuk) Tolu Mingku We’eli (Tiga Perbuatan akhlak) no koramba (terdiri atas) pato mea karonto mai kala’a (Empat sumber keadilan dan kebenaran), pato mea Karopu kasoka (Empat sumber kehancuran), pato mea Hakekati Toba( Empat sumber Hakekat Tobat),rike’enomo asomo nipindandainto( itulah untuk pegangan kita).”
         Sara Tolu Mingku We’eli (Hukum 3 Perbuatan Akhlak) yaitu:
1.Pato mea karonto mai  kala’a (4  sumber  keadilan
    dan kebenaran)
1.1   Po mosasu sasuaso (saling mengagungkan / takut menakuti)
1.2   Po moasi asiaso(saling berkasih-kasihan)
1.3   Po piapiara(saling memelihara)
1.4   Po angka angkata aso (saling menghargai jasad/saling menghormati)
2.Pato mea karopukasoka(4 sumber kebinasaan /ke
    hancuran)
   2.1 To sabharagau (berbuat sewenang-wenang/merampas hak orang lain
   2.2  To lempagi ( berbuat    melangkahi / melanggar
           aturan)
  2.3  To pulu / To pogau ni ka’alo alo aso / To pirawosi (berbuat berkata menghina orang)
  2.4  To halu(berbuat  ambisi / nafsu  ingin   memiliki
          semua  milik  orang  lain  walaupun bukan miliknya seperti korupsi,zina,dan mencuri )
3.Pato mea Hakekati Toba (4 Sumber Hakekat Tobat)
    3.1 To Soso(berbuat menyesali atas segala pebuatan yang salah  menurut  agama  dan  adat  istia adat yang berlaku)
    3.2 To butuki (berbuat memutuskan  /berjanji  untuk
           tidak  mengulangi  perbuatan  yang salah menurut agama  dan  adat istiadat yang berlaku
   3.3 To mbelaici (berbuat menjauhi semua perbuatan
           yang bertentangan dengan agama dan adat isti
adat yang berlaku)
   3.4 To hakunasi (berbuat  mengakui hak  milik  sehingga kita tidak saling melanggar hak milik orang   lain).  
          Dengan jasa yang sangat berharga inilah sehingga La Ode Sibi terkenang dari masa ke masa sampai  pada anak cucunya.    
         Setelah La Ode Sibi meninggal dunia di Koncu Patua Wali tahun 1667 maka Sarano Wali mengukuhkan La Ode Konse menjadi Lakina Wali ke-2. Makam La Ode Sibi (La Ode Tili) ada di dalam Benteng Koncu Patua Wali. Wallahu A’lam.(Sumber La Herani 2002; La Ode Muhammad Riwai 2002).
2. Lakina Wali La Ode Konse (1667-1721)
             La Ode Konse adalah anak dari La Ode Parigia dengan Wa Ode Koloure(Wa Ode Pasole), sama halnya dengan La Ode Sibi dan La Ode Mimbara sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.Beliau menjabat Lakina Wali ke-2 sekaligus Lakina Agama menggantikan La Ode Sibi yang telah meninggal dunia untuk menjalankan amanah sara adat  dan sara agama di Pulau Binongko.
            Dalam menjalankan tugas sebagai Lakina Wali sekaligus Lakina Agama tidak terlepas dengan “Sara Tolu Mingku We’eli “(Hukum 3 Perbuatan Akhlak) sebagaimana dijelaskan terdahulu. Semua jejak dan  langkah kakaknya (Lakina Wali La Ode Sibi) telah terbawa olehnya sehingga jasa baiknya terkenang pula sampai kini. La Ode Konse sebagai seorang pemimpin pemerintahan adat Pulau Binongko sebelumnya telah memiliki ilmu tata pemerintahan, ilmu agama, juga memiliki ilmu bathin yang tinggi yang diperolehnya dari isterinya bernama Wa Ode Mimbali anak dari Kinipulu Bula.
            Dari ilmu yang dimilikinya itu La Ode Konse mengabdikan pada negerinya sehingga kehidupan masyarakatnya menjadi makmur karena rezeki di darat, di laut, dan bahkan para pelayar yang melalangbuana di negeri rantauan datang membawa keberuntungan.Keamanan terjamin karena adanya persatuan dan kesatuan yang utuh masyarakat Binongko.Disuatu waktu dalam masa pemerintahannya, Sultan Buton ke-10 Sultan Adilirrahim/Oputa Mosa-buna ILea-lea / La Simbata (1664-1669) merasa geli-sah karena ada pohon beringin  besar yang menaungi Kamali Sultan diragukan akan tumbang bila ada angin kuat. Maka dari itu, La Ode Konse dipanggil oleh Sultan Adilirrahim untuk memikirkan hal itu.
            Atas permohonan La Ode Konse melalui ilmu kesaktian / ilmu bathinnya  yang diberkahi oleh Allah Swt  sehingga pohon beringin itu dapat dipindahkan entah ke mana dalam waktu semalam sentuh.
           Pada tahun 1721 La Ode Konse meninggal dunia di dalam benteng Koncu Patua Wali dengan tidak punya keturunan, yang kemudian sarano Wali mengukuhkan La Ode Mimbara sebagai Lakina Wali ke-3 sekaligus  Lakina Agama ke-3.
          Wallahu A’lam.(Sumber La Herani 2003; La Ode Haris 2013).
3. Lakina Wali La Ode Mimbara (1721-1750)  
            Pada masa  pemerintahan La Ode Mimbara sebagai Lakina Wali ke-3, punya inisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan di Benteng Koncu Patua Wali ke Benteng Raja Wali yang sekarang Kelurahan Wali melalui musyawarah adat di Baruga Sarano Wali  Koncu Patua Wali.
           Menurut kisah sejarah mengatakan bahwa La Ode Mimbara inilah yang meletakkan kabhelai ( batu dan tiang pertama) pembangunan Masjid Wali dan Baruga Sarano Wali setelah dipindahkan dari Koncu Patua Wali ke Benteng Raja Wali pada tahun 1721 Masehi.
          Disamping hal di atas, Beliau menganjurkan pula agar semua kepala keluarga yang mampu perlu membuat perahu layar (bhangka) sebagaimana yang pernah dimiliki oleh nenek moyang kita terdahulu. Dengan anjuran itu secara bertahap masyarakat Binongko hampir semua khususnya yang tinggal di pantai telah memiliki perahu layar,sehingga orang Binongko saat itu terkenal menguasai lautan dengan sebutan “Binongko Raja Laut.” Hal inilah yang menjadikan kenangan sejarah masa lampau bahwa Kerajaan Buton terkenal sebagai Kerajaan Maritim. Pelayaran orang Binongko bukan hanya dalam negeri melainkan pula sampai ke luar negeri seperti ke Australia, Pilipina, Malaysia, Singapur, Cina, Thailand dan bahkan sampai ke Tanah Suci Mekkah naik haji karena Allah.
            Dalam waktu yang cukup lama Beliau mengabdikan diri pada negeri Pulau Binongko sehingga diberikan oleh  sara adat beberapa bidang tanah diantaranya tanah Dhaci di Wali dan kini telah ditempati oleh cucunya.Setelah tahun 1752 La Ode Mimbara (moyang La Rabu Mbaru) mening-gal dunia di Wali. Makam La Ode Mimbara ada di Dhaci Wali.Wallahu A’lam. (Sumber Wa Ode Ibu 1989;La Herani 2003).
4.Lakina Wali La Ode Kancinga (1750-1774)
           Setelah Kolaki La Ode Mimbara wafat maka Sarano Adat  Wali mengangkat La Ode Kacinga sebagai Lakina Wali ke-4. Pada masa pemerintahannya semua aturan agama dan adat ditegakkan sesuai yang dilakukan oleh Lakina Wali sebelumnya. Semua kampung disetiap kadie baik kampung besar maupun kampung kecil yang terpisah jauh dengan kampung besar harus memiliki masjid atau tempat pengajian agar ajaran agama Islam tetap berakar di hati setiap orang Binongko.
          Pada masa pemerintahan La Ode Kancinga untuk mempermudah dan melancarkan jalannya pemerintahan di kampung-kampung,maka Sarano Adat Wali   mengangkat Bonto  Popalia yang pertama  bernama La Ode Jampu bin La Ode Raduna bin La Ode Kancinga sebagai Wakil Ketua sesepuh adat Popalia yang wilayahnya Kaluku, Komba-Komba, Baluara dan sekitarnya.
           Disamping Bonto Popalia, juga Sarano Wali mengangkat Jou Palahidu yang pertama bernama La Ode Gadi bin La Ode Raduna bin La Ode Kancinga sebagai Wakil Ketua sesepuh adat Palahidu yang wilayahnya Benteng Palahidu,Benteng Watiua dan sekitarnya.
              La Ode Jampu sebagai Bonto di Kaluku/Popalia, yang kemudian namanya diabadikan dalam  salah satu pintu masuk Benteng Popalia bernama “Lawa Jampu”.Demikian pula La Ode Gadi diaba-dikan namanya dalam salah satu pintu masuk Ben-teng Palahidu bernama “Lawa Gadi”. Hal yang sama pula di Pintu Utama Benteng Baluara dinamai Lawa Ama Wa Mbote. Menurut Tradisi Lisan masyarakat Taipabu yang diceritakan La Sangia Taipabu tahun 2008 mengatakan bahwa Ama Wa Mbote adalah pahlawan Benteng Baluara saat membunuh habis pasukan Sanggila (Tobelo).
            Baik Bonto maupun Jou bertugas dan bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat di wilayahnya dan bila ada pemasalahan masyarakat yang tidak bisa diselesaikannya maka baik Bonto Popalia maupun Jou Palahidu segera melapurkan ke Lakina Wali La Ode Kancinga. Dengan hal itu, Lakina Wali bersama Bonto Ogena (Siolimbona), Pangalasa  ber-sama pembantunya dan Sara Agama bersidang menyelesaikan permasalahan itu dengan adil.
       Perlu diketahui bahwa Bonto Ogena(Siolimbona) yang pertama yang diangkat oleh Bonto Ogena Ma Watombi dari Kesultanan Buton sebagai Ketua Adat Binongko adalah Maa Lahora sedang Pangalasa pertama sebagai Pemimpin Musyawarah Adat Binongko  adalah Maa Landuga.   
            Lakina Wali La Ode Kancinga bersama sara adat dan sara agama sering berkeliling dari kampung ke kampung untuk menyampaikan pada masyarakat Binongko agar hidup kita sejahtera, maka kita tidak boleh bermalas-malasan, semasih kita sehat gunakanakan kesempatan untuk berusaha keras,yang ingin berlayar silakan berlayar, yang senang berkebun silakan berkebun, yang ingin menenun silakan menenun,yang mempunyai keahlian menempah besi silakan menempah besi, yang senang berdagang seperti menjual parang, pisau, linggis, pahat, paku perahu dan sebagainya yang merupakan hasil tempahan besi dari Binongko,silakan berdagang ke mana saja.Demikian pula  yang senang mencari ikan (nelyan) silakan mencari ikan.
             Kemudian walaupun banyak kesibukkan yang kita kerjakan namun jangan sekali lupakan perintah agama shalat 5 waktu serta suka mensyukuri semua nikmat Allah Swt dengan kalimat ” kururu mai-mai.”    
             Pada masa itu,Sarano Adat Wali bersama La Ode Gadi mendirikan Masjid di dalam benteng Palahidu, sehingga dengan hal itu utusan Buton yang ingin mengislamkan masyarakat Binongko terkejut dengan melihat Masjid Palahidu yang ada di di dalam benteng tersebut dan ternyata masyarakat Binongko sudah sejak lama memeluk agama Islam secara mapan.
            Lakina Wali ke-4 La Ode Kancinga wafat di Benteng Tohallo Wali pada tahun 1774. Makam La Ode Gadi Jou Palahidu pertama berada di dalam benteng Palahidu yang dikenal denga nama “ Kuburu Tapi-Tapi.” Wallahu A’lam. (Sumber La Ode ST.Patarani 2006).  
5. Lakina Wali La Ode Luba (1774-1782)
        Sebelum La Ode Luba menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Adat Sarano Binongko (Lakina Wali ke-5), Beliau bekerja sebagai seorang anakoda mengelilingi Kepulauan Nusantara dalam mencari muatan kopra atau barang-barang dagangan lainnya untuk dijual ke Tanah Jawa, lalu barang-barang dagangan dari Tanah Jawa dijual ke pulau-pulau di Nusantara ini dengan tidak memandang musim. Berbagai suka duka dan pengalaman dalam pelayaran Beliau rasakan. Beliau sangat disegani dan disenangi oleh masyarakat  Binongko maupun pelayar-pelayar  lain-nya karena  kealimannya, kejujurannya, kearifannya, tegas, disiplin dan keberaniannya. Sehingga dengan hal itu, pada tahun 1774 Beliau diangkat oleh Sarano Adat Wali Binongko menjadi Kepala Pemerintahan Adat Sarano Binongko(Lakina Wali ke-5).
        Pada masa pemerintahan La Ode Luba, perkampungan kecil yang masih berada di pedalaman secara bertahap turun ke pantai untuk bergabung dengan kampung yang duluan turun, tapi bagi kampung-kampung kecil yang belum mau turun  ke pantai tidak dipaksakan. Salah satu kebiasaan La Ode Luba sebagai pelanjut peradaban Islam dan budaya (pake) Binongko adalah selalu bangun tengah malam bermunajat pada Allah Swt agar Binongko terhindar dari malapetaka atau bala bencana (dalam bahasa Wali disebut mbelaicie karopukasoka),rasa aman, rezeki di darat,di laut termasuk orang yang berlayar mencari nafkah di negeri rantauan melimpah,  persatuan dan kesatuan selalu utuh. Kampung  kecil yang belum punya masjid dibangun secara gotong royong (dalam bahasa Wali disebut Pita-ka/Pohamba-hamba). Beliau bersama para tokoh adat maupun tokoh agama sering jalan bersama ke kampung-kampung untuk mengamati kehidupan masya-rakat Binongko secara langsung baik di bidang pertanian,peternakan kambing, penenunan, pandai besi, pelayar dan lain sebagainya selalu dibekali dengan ilmu agama Islam dan budaya (pake) Binongko yang agamais.
         Lakina Wali ke-5 La Ode Luba sering disebut Waopu Kolowu karena sebelum menjadi Lakina /Kolaki Wali,Beliau tinggal di lembah (Kolowu) Patua. Sekitar tahun 1782 Beliau meninggal dunia di Wali. Wallahu A'lam.(Sumber Wa Ode Ibu 1989).
6. Lakina Wali La Ode Ruba (1782-1785)
           Setelah Lakina Wali ke-5 La Ode Luba, meninggal dunia maka Sarano Wali Binongko mengukuhkan adiknya lagi bernama La Ode Ruba sebagai Lakina Wali ke-6. Selama lebih kurang 3 tahun masa pemerintahannya dalam menjalankan  peradaban Pulau Binongko,Beliaupun meninggal dunia di Wali pada tahun 1785. Namun sebelum  meninggal dunia Beliau berwasiat pada Sarano Wali bahwa apabila  matahari terbenam (perumpamaan dirinya meninggal dunia) karena dirinya sudah tua, maka matahari yang akan terbit (sebagai pelanjut kepemimpinan Lakina Wali ke-7 adalah La Ode Katimanuru). Wasiat ini ditaati oleh Sarano Wali Binongko dan setelah La Ode Ruba meninggal dunia, maka Sarano Wali Binongko mengukuhkan La Ode Katimanuru menjadi Kepala Pemerintahan Adat Binongko (Lakina Wali ke-7). Wallahu A'lam. (Sumber Wa Ode Ibu 1989).
7. Lakina Wali La Ode Katimanuru (1785-1792)
            Perlu diketehui bahwa kebiasaan orang Binongko sejak dahulu kala suka melalang buana dengan bhangka panta bebe (perahu layar model ekor bebek) diberbagai daerah diseluruh Nusantara ini dan pada biasanya setelah mereka mendapatkan daerah yang cocok untuk mengembangkan usahanya, pelabuhan yang aman, tanah yang subur, maka mereka segera pulang mengambil keluarganya untuk tinggal menetap di daerah-daerah tersebut.
           Kisah hidup La Ode Katimanuru sebelum menjadi Lakina Wali ke-7 adalah seorang nachoda (dalam bahasa Wali disebut Anakodha). Beliau sebagai nakhoda perahu, sering dipanggil Raja 'Alu Alimu (Raja Laut Alim) karena walaupun angin keras, ombak besar, dan hujan deras, tapi saat mau berlayar perasaan sang isteri telah bersatu,dengan penuh tawakal pada Allah Swt maka tidak ada halangan untuk berlayar (hela/langke) dan terbukti biasanya teduh atau baik-baik saja. La Ode Katimanuru berlayar dari pulau ke pulau mencari muatan berupa kopra bertonton lalu dijual ke Tanah Jawa dan pulang membawa muatan barang dagangan  untuk dijual di tempat mereka mengambil muatan atau dibawa pulang ke Binongko.
         Lakina Wali sebelumnya selalu mendorong masyarakat Binongko untuk berhijrah ke daerah-daerah yang aman,subur,mudah mencari rezeki  untuk hidup bersama keluarga dengan membawa budaya (pake) Cia-Cia dan Mbedha-Mbedha.
         Sejak dahulu dalam pelayaran antara orang Binongko dengan orang Makassar maupun orang Bugis sama-sama mengukuhkan dirinya sebagai         "raja lautan" namun mereka tidak pernah bermusuhan tapi sebaliknya mereka saling bersahabat dan tolong-menolong dalam berbagai kebutuhan di laut maupun di darat. Begitulah yang dirasakan oleh Lakina Wali La Ode Katimanuru sebelum Beliau menjadi Lakina Wali ke-7. Beliau sebagai pelanjut peradaban Binongko berusaha keras bersama para tokoh agama maupun tokoh adat dalam mempertahankan dan melindungi masyarakat Binongko secara utuh  dari berbagai gangguan Bangsawan Buton yang berkeliaran yang suka membuat kerusakkan, memeras, merampas hak-hak asasi masyarakat yang dimotori oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Berbagai paksaan, penderitaan dan penindasan dengan silih berganti dirasakan oleh masyarakat Binongko sehingga La Ode Katimanuru bersama para tokoh lainnya secara diam-diam menyusun kekuatan untuk melawan atas kebiadaban para pelaku kerusakkan dengan tekad "Mate Wambaja Aso Waliwu", artinya " Biar nyawa berpisah dengan badan yang penting untuk Negara". Karena hal itu Beliau dilapur oleh pembuat kerusakkan ke Kolonial  Belanda di Wolio bahwa La Ode Katimanuru ditembak mati saja karena tidak mau kerja sama atau sebagai penentang Belanda, sehingga La Ode Katimanuru menghadap ke Kolonial Belanda. La Ode Katimanuru tidak  gentar sedikit pun, lalu Beliau ditembak tapi aneh orang yang menembak itu yang tersungkur mati. Kolonial Belanda yang lain tambah ganas menusuk dengan ujung senjata pada tubuh La Ode Katimanuru, tapi kenyataannya orang yang menusuklah yang merasakan sakit sampai mati. Dengan berbagai siksaan yang dilakukan oleh pembuat kerusakkan pada tubuh La Ode Katimanuru namun sia-sia belaka, sehingga Beliau ditakuti dan disegani musuh,lalu Beliau kembali ke Binongko untuk menjalankan tugasnya. Selama 7 tahun dalam pengabdian pada masyarakat Binongko, Beliaupun meninggal dunia di dalam Benteng Keramat Oihu Wali, lalu diteruskan oleh cucunya bernama La Ode Mendow sebagai Lakina Wali ke-8. Dengan sifat kepahlawanan La Ode Katimanuru dalam membela Binongko sehingga Beliau digelar oleh Sarano Wali Binongko dengan nama :" Jampu ," artinya : ''Dalam dirinya tersimpan berbagai  kebaikan untuk kita contohi." Sampai kini makam   La  Ode  Katima-nuru   sering  dikenal  dengan  nama:"Kubur Jampu Oihu."  Wallahu A'lam. (Sumber La Ode Ane Ndanga 2003).
8. Lakina Wali La Ode Mendow (1792-1802)
           La Ode Mendow sebagai penerus peradaban Binongko yang  telah dibekali sejak berusia remaja oleh kakeknya La Ode Katimanuru. Lakina Wali ke-8 La Ode Mendow sangat berani seperti kakeknya, tidak gentar menghadapi berbagai persoalan sehingga Bangsawan Buton,Kolonial Belanda datang merayu dengan berbagai janji untuk bekerja sama dengan Kolonial Belanda, namun La Ode Mendow  tidak mau bekerja sama dengan penjajah. Beliau rela mati demi Binongko dengan semboyan "Mate Wambaja Aso Waliwu."  Dalam tugasnya sekitar tahun 1798 datang lagi Ewali (Musuhnya Wali) atau sering disebut Sanggila yaitu pembajak dari Tobelo menyerang Binongko yang berlabuh di Pantai Oro Wa Ode Gowa, namun dapat ditumpas habis oleh pasukan Raja Wali dibawah pimpinan Lakina Wali La Ode Mendow. Pada masa itu La Ode Mendow menyarankan kepada rakyat Binongko agar demi keselamatan dan masa depan  generasi Binongko dipersilakan untuk berhijrah ke mana saja diseluruh daerah Nusantara yang penting aman, bisa berkembang biak disemua segi kehidupan. Biarlah Binongko kita kosongkan cukup saja yang tua-tua biar kami mati di Binongko yang penting anak cucu masih tetap hidup. Maka dari itu orang Binongko menyingkir jauh dengan berlayar menuju daerah aman. Dengan dasar kekosongan itu orang Wali/ Cia-Cia Binongko yang sudah sekian generasi melalang buana di Tanah Pusaka Buton diperintahkan oleh Sultan Buton ke-27 Sultan Dayanu Asraruddin(1799-1823) untuk kembali ke Binongko. Mungkin dengan hal itu orang ahli sejarah sekarang ini berpendapat bahwa Orang Wali / Cia-Cia) itu berasal dari Tanah Buton, tapi sesungguhnya hal itu keliru karena Orang Wali/Cia-Cia yang pertama itu bernama Sumahil Tahim Alam dan orang Mbedha-mbedha pertama bernama Waliullah sama-sama berprosesi di Pulau Gaib Binongko sebagai kehidupan suami isteri.Wallahu A’lam.(Sumber La Herani 2002).
        Dalam silsilah keluarga La Ode Katimanuru beranakkan diantaranya La Ode Njira. La Ode Njira beranakkan La Ode Mendow kawin di Wali, La Ode Sapati kawin di Cira Sampulawa dan Wa Ode Kiwolu kawin  di  Kaledupa.  La Ode Mendow mempunyai anak bernama La Ode Umara(Kakek La Ode Masangkati), La Ode Dae (Kakek La Hadi-kara), La Ode Amarilae (Bapak Mece,La Ode Muli/Ida Sandiwara), La Ode Behe (Orang Tua La Ode Ribi/Bapaknya La Ode Muhammad/Ama Musu), La Ode Jolo (Orang Tua La Ode Tibi/Ida La Ode Ibudiman, dan La Ode Wara/Ama Wa Ode Malina), Wa Ode Jalehati (Nenek La Ode Haris), Wa Ode Anabharu (Nenek Wa Nubu), dan Wa Ode Anakodhi (Nenek La Rabu Mbaru/Penulis).
         Selama 10 tahun La Ode Mendow dalam tugas sebagai Lakina Wali ke-8, Beliaupun meninggal dunia di dalam Benteng Keramat Oihu Wali pada tahun 1802 dan digantikan oleh adiknya bernama La Ode Sapati. Wallahu A'lam. (Sumber La Ode Ane Ndanga 2003).
9.Lakina Wali La Ode Sapati(1802-1810)
          Sesuai wasiat La Ode Mendow bahwa yang akan meneruskan sebagai Kepala Pemerintahan Adat Sarano Wali Binongko(Lakina Wali ke-9) setelah dirinya meninggal dunia adalah La Ode Sapati adik-nya sendiri yang tinggal di Cira Sampulawa.
            La Ode Sapati saat itu dipanggil dan diperintahkan oleh Sultan Buton ke-27 Sultan Dayanu Asraruddin(Oputa Lakina Agama La Badaru/1799-1823) untuk menjadi Lakina Wali ke-9 Pulau  Binongko sesuai wasiat La Ode Mendow.
            Dalam masa pemerintahannya sebagai Lakina Wali ke-9, Beliau meneruskan peradaban Binongko dengan gigih memanggil keluarga Wali/ Cia-Cia  yang mau, yang sudah sekian generasi melalangbuana di Tanah Pusaka Buton maupun di daerah lain untuk kembali ke Binongko. La Ode Sapati mengutamakan persatuan dan kesa-tuan,sehingga para pelaku kerusakkan tidak bisa berbuat apa-apa.Dengan hal itu  keamanan terjamin,rezeki melimpah baik di laut maupun di darat. Pada tahun 1810 Beliau meninggal dunia di Wali dan dimakamkan di Pantai Lakapuge Wali yang kemudian digantikan oleh La Ode Mpurege. Wallahu A’lam. (sumber La Ode Ane Ndanga 2002).
10. Lakina Wali La Ode Mpurege (1810-
       1815)
          Setelah La Ode Sapati meninggal dunia yang kemudian digantikan oleh La Ode Mpurege sebagai Lakina Wali ke-10 Pulau Binongko agak goncang karena datang lagi pelaku kerusakkan Ewali/Sanggila Tobelo, namun La Ode Mpurege sangat gesit menggerakkan pasukan pajore Raja Wali menggempur  pasukan Ewali/Sanggila Tobelo di pantai Oro Wa Ode Gowa secara habis-habisan. Beliau tidak getar menghadapi berbagai persoalan di Wilayahnya. Selama 5 tahun dalam pengabdian pada negerinya,Beliaupun meninggal dunia di Wali pada tahun 1815 yang kemudian digantikan oleh La Ode Haseha. Wallahu A’lam (Sumber La Ode Ane Ndanga 2002).
11. Lakina Wali La Ode Haseha(1815-1825)
            La Ode Haseha sebagai Lakina Wali ke-11,mendiami Kamali Masae/Kamali Tonga di Wali  yang kini lokasinya telah ditempati  oleh cucu-cucunya. Pada masa pemerintahannya, Beliau selalu berpedoman pada aturan adat “Tolu Mingku We’eli” sebagaimana yang telah diterapkan para pemimpin terdahulu.
            Dalam menjalankan tugasnya, Beliau mengeluarkan maklumat bahwa barang siapa yang melakukan kejahatan penganiayaan maka masyarakat harus berani melawan dan melapurkan pada Pemerintahan Adat Sarano Wali Binongko di Wali untuk diproses secara hukum sara. Dengan hal itu masyarakat kecil menjadi pemberani untuk melawan dan bahkan membunuh para pelaku penganiayaan (kaombanga) tenrsebut.
            Sekitar tahun 1817 seorang bangsawan bernama La Ode Aeda  dari Tanah Buton kawin di Wali dengan seorang bangsawan bernama Wa Ode Sangkoni melahirkan anak bernama Wa Ode Arabu. Sejak kecil sampai berumah tangga kebiasaan Wa Ode Arabu suka merampas,memeras,dan memukul orang baik laki-laki maupun perempuan. Disuatu saat Wa Ode Arabu datang bertamu di kampung Wakaisura di gunung  yang agak jauh dari Wali. Dengan niat busuknya, dia meminta makanan pada Wa Ngkamoni. Setelah makanan disiapkan, secara diam-diam  makanan tersebut ditaburkan tanah oleh Wa Ode Arabu sambil marah dan memukul Wa Ngkamoni sampai tidak berdaya.Dengan melihat tindakan itu, suami Wa Ngkamoni bernama La  Meria membela isterinya yang tidak bersalah itu dengan memotong Payudara Wa Ode Arabu,maka tamatlah riwayatnya Wa Ode Arabu yang jahat itu. Melihat kejadian itu La Meria segera melapur pada Kolaki di Wali supaya diproses secara hukum sara secara adil. Kolaki menyuruh masyarakatnya segera mengambil mayat Wa Ode Arabu untuk dikebumikan di Wali. Dan La Meria bebas dari segala tuntutan hukum sara serta tuntutan pihak keluarga.
           Disamping hal di atas datang pula Kapal Belanda yang berlabuh di Pesisir Pantai Mole Waloindi dengan maksud mencari dan membunuh Kapitan Waloindi yang kemudian tempat itu disebut Nato. Mendengar hal itu Kapitan Waloindi menggunakan ilmu pakole (ilmu tidur) semua pasukan Belanda tertidur sehingga Kapitan Waloindi dengan mudah  membunuh habis pasukan Belanda.
               Menurut silsilah keluarga yang disampikan oleh salah seorang cucu Lakina Wali La Ode Haseha bernama La Ode Sanuddin, S.Pd.SD (2013) mengatakan bahwa La Ode Haseha, mempunyai anak bernama La Ode Ndii. Setelah dewasa La Ode Ndii kawin dengan Wa Ode Loma di Kahedupa (Kaledupa) dengan melahirkan anak bernama  La Ode Hasi (Kakek La Ode Tanda, La Ode Abd.Basar, La Ode Abusari, Wa Ode Sanaria  Rukuwa, La Ode Ana-Ana Loji, La Ode Ana-Ana Kapota, Wa Ode Ramba Rukuwa), La Hanafi (Kakek La Ode Sehe, La Ode Sangia, Wa Ode Jipo), Wa Ode Toratea (Nenek La Ode Rahiki,La Ode Ajiji, La Ode Abdul Basar, La Ode Ngkani, dan La Ode Tahi Rukuwa), Wa Ode Tandaijo (Nenek La Ode Manemane Sorong,Wa Ode Ero,Wa Ode Imama,La Ode Taru/Haji Kamaruddin dan La Ode Ila),dan Wa Ode Kumana (Nenek La Ode Wale Popalia/Bapaknya La Ode Mahyuddin,SH).
               Setelah La Ode Hasi meninggal dunia di Wali pada tahun 1825,maka digantikan oleh cucunya bernama La Ode Hasi. Wallahu A’lam.(Sumber  La Arumani 2002;La Ode Sanuddin S.Pd.SD. 2012)
12. Lakina Wali La Ode Hasi (1825-1835)
             Semenjak kecil La Ode Hasi dididik oleh kakeknya dengan ilmu agama,akhlak yang mulia untuk selalu berbuat adil,jujur,suka bergaul dengan masyarakat kecil,suka meno-long yang lemah dan teraniaya, tegas mengambil tindakan, selalu berpikir sebelum berbuat sehingga setelah menjadi Lakina Wali Beliaupun disenangi orang.
              La Ode Hasi sebelum menjadi Lakina Wali ke-12,Beliau telah menikah dengan seorang perempuan La Andi-Andi di Wali bernama Wa Ode Pasamani atau juga disebut Wa Ode Fajaraijo salah seorang anak Daeng Marewa dengan Wa Ode Kantoilalo. Pernikahan mereka melahirkan anak bernama La Ode Samadi(Kakek La Ode Abusari,La Ode Ana-Ana loji), La Ode Ralia (Kakek La Ode Taru, Wa Ode Imama, La Ode Ila), La Ode Samparaja (Kakek Wa Ode Ramba Rukuwa dan La Ode Rauwu Rukuwa), La Ode Bhaewondu (Bapaknya Wa Ode Amina di Sorong), dan La Ode Agama (Bapaknya La Ode Maji/Ida Wa Ode Nur Ida ).
             La Ode Hasi suka bersedekah pada orang miskin,Beliau menciptakan persatuan dan kesatuan antar sesama untuk saling menolong baik suka maupun duka. Beliau sering dikenal pula dengan nama Waopu Tadhu karena bersama keluarga tinggal di Tadhu (Tanjung) Kokobuta Wali. Pada tahun 1835 La Ode Hasi meninggal dunia di Wali dan digantikan oleh La Ode Asibati. Wallahu A’lam. (sumber La Arumani 2002; La Ode Rahiki 2008 dan La Ode Sanuddin,S.Pd 2013).
13. Lakina Wali La Ode Asibati(1835-1840)
              La Ode Asibati lahir di Kalukuna Tanah Buton,lalu Beli-au menikah di Wali dengan seorang perempuan bernama Wa Ode Toratea adik kandung La Ode Hasi. Dari pernikahan ini melahirkan anak yaitu Wa Ode Onde (tidak punya turunan), Wa Ode Munte(Orang Tua La Ode Muhammad Isa, La Ode Ngkani Rukuwa,Wa Ode Naeni/Ibu kandung La Ode Rahiki),Wa Ode Babe (Orang Tua Wa Ode Muliangi,La Ode Madi Tanda,La Ode Aji,Wa Ode Rahima, dan Wa Ode Maemuna),La Ode Rajab (Orang Tua La Ode Ajiji,La Ode Alibasa,dan La Ode Adiowi),Ida/Bapak (La Ode Mandaragoa), dan Ida /Bapak (La Ode Kombewaha).
             Pada masa pemerintahan La Ode Asibati sebagai Lakina Wali ke-13 ini,banyak yang hijrah akibat kekerasan Kolonial Belanda dengan kerja paksanya Rodi dan orang Binongko menyebutnya Hardinsi dalam pembuatan jalan keliling Pulau Binongko,kerja paksa penggalian aspal Buton di Kabongka Buton,dan pengeringan pantai Mandati di Wanci. Saat itu, masyarakat Binongko rasanya kiamat karena banyak yang mengalami kematian akibat kerja keras, kelaparan,dan penindasan dari penjajahan Belanda. Pemerintahan Pusat Kesultanan Buton dan lebih-lebih Pemerintahan Adat Binongko  tidak dapat mengambil langkah dalam melindungi rakyatnya karena Belanda telah berkuasa penuh di Kesultanan Buton. Selama 5 tahun dalam tugas sebagai Lakina Wali ke-13, Beliau pun meninggal dunia di Wali pada tahun 1840 yang diteruskan  oleh La Ode Gorau atau sering dikenal     dengannama La Ode Burkene.Wallahu A’lam.   (SumberLa Arumani 2002; La Ode Rahiki 2008; Wa Ode Mariati 2011;La Ode Sanuddin 2013).
14.Lakin  Wali  La  Ode  Gorau / La Ode Burkene (1835-1865)






Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "SEJARAH PEMANGKU SARA ADAT LAKINA WALI BINONGKO DI ZAMAN KESULTANAN BUTON "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel