MENELUSURI JEJAK PATTIMURA DI BINONGKO
![]() |
Peta Pulau Binongko |
Mengungkap Asal Usul Patimura Mengungkap jejak asal-usul Patimura berarti mengingatkan kita pada sejarah perjuangan kemerdekaan merebut Benteng Duursetede di Ambon, pada tanggal 16 Mei 1817 M. Nah, Bagaimana kisahnya hingga Patimura disebut Kapitan Waloindi yang tersohor sebagai Pendekar di Bitokawa (Wilayah Kerajaan Buton), selanjutnya di Ambon dikenal dengan nama “ Thomas Matulise Patimura.
Gino Samsudin Mirsab
Di Abad ke 21 ini, banyak para ahli sejarah
meneliti situs-situs sebagai fakta sejarah masa lampau dan akhirnya mengangkat
nama pejuang yang tidak di kenal asal usulnya, tak terkecuali “Patimura atau di
Kerajaan Binongko disebut Kapitan Waloindi”. Pada zamannya Kapitan ini, oleh
Colonial Belanda menggelarnya dengan sebutan pembangkang, sebaliknya di mata
bangsa Indonesia, Patimura dia dikenal sebagai seorang tokoh pendekar yang
santun, murah hatinya dan pejuang hak asasi manusia (HAM).
Saat ini, tak jarang banyak pakar sejarah di
tanah air, terpaksa membolak-balikkan fakta sejarah para perjuang Kemerdekaan.
Misal Kapitan Waloindi yang setara dengan para pejuang Nasional lainnya di
Indonesia. Penelusuran pakar sejarah, ditemukan adanya jejak Patimura. Namun di
Binongko oleh kalangan pendahulu Patimura di Binongko, namanya adalah Kapitan
Waloindi.
Salah seorang peneliti sejarah La Rabu Mbaru SPd
SD, yang ditemui Crew Radar Buton di Binongko mengatakan, sepak terjang
pendekar yang satu ini, bukan saja melawan ketidak adilan di wilayah Kerajaan
Buton, melainkan juga melakukan perlawanan dengan kalangan penjajah di bumi
pertiwi ini. Alkisah, dialah Kapitan Waloindi, salah seorang sosok pendekar pembela
rakyat jelata, pembela kebenaran, dan selalu murah hatinya, serta wajib baginya
untuk menuntut agar keadilan dibumi pertiwi ini, segera diwujudkan, kata La
Rabu Mbaru SPd.SD. Dalam penelusurannya, Kapitan Waloindi bukan saja berjuang
melawan penjajah di kepulauan Tukang Besi Bitokawa (saat ini disebut Wakatobi)
kerajaan Buton, tetapi juga di wilayah kepulauan Maluku. Karena itu La Rabu
Mbaru, dalam uraiannya di buktikan dengan temuan-temuannya, sebagai fakta
sejarah dan bukti-buktinya, tutur La Rabu.
“Kapitan Waloindi makamnya ada di Binongko,
tegasnya”. Kapitan Waloindi merupakan kisah sejarah masa lampau (bukan merubah
sejarah), tetapi hanya menekankan siapa sesungguhnya Kapitan Waloindi itu…?.
Dalam fakta-fakta sejarah di Pulau Binongko hingga saat ini masih tersimpan
kebenarannya. Karena itu Kapitan Waloindi dalam tradisi lisan rakyat Wali Pulau
Binongko, bukan hanya menjadi cerita bersambung antara generasi, melainkan juga
disertai dengan bukti-bukti sejarah tercatat pada tahun 1334 M.
Dalam sejarah di Kerajaan Binongko telah berdiri
kokoh pada tahun 1334 M, sebelum kedatangan Raja Pati La Soro yang berpusat di
Wali Koncu Patua. Selanjutnya pada tahun yang sama dibentuk empat kerajaan
bersaudara yang disingkat dengan nama Bitokawa (Binongko, Tomia, Kahedupa, dan
Wanse). Sejarah Buton dilegitimasi kebenarannya.
Dikatakannya, Raja Pati LaSoro yang kemudian
dikenal dengan nama LaHatimura alias LaMura, alias Kapitan Waloindi, diakuinya
berasal dari Tanah Barat yaitu dari wilayah Mongol (Tiongkok-Cina). Adapun
sesuai penelusurannya Kapitan Waloindi ditemukan bukan berasal dari Mongol,
namun ternyata sejak kecil dia diculik oleh para bajak laut, dan dia kembali
masuk ke Indonesia melalui Gorontalo (Sekarang disebut Kabupaten Gorontalo)
pada tahun 1334 M.
Selanjutnya Kapitan Waloindi atas informasi yang
disampaikan oleh rekan penculiknya sejak masih balita pada saat itu, dia
melanjutkan perjalannya menuju ke Pulau Bitokawa tepatnya di Binongko. Maksud
kedatangannya di Negeri Bitokawa mencari sanak saudaranya, karena ternyata
beliau adalah salah seorang anak cucu Raja Wali Patua Sakti (Sumahi Tahim
Alam). La Baru Mbaru dalam penjelasannya, Kapitan Waloindi sesampainya di Pulau
Binongko. La Soro bertemu dengan LaKakadu disekitar benteng keramat Oihu (saat
ini disebut Kahea Koba). Kahea Koba adalah tempat tanah longsor jatuhnya raja
Pati La Soro disaat uji kanuragan kesaktiannya (Hingga hari ini tempat itu,
masih mengakui disebut jatuhnya raja Pati LaSoro) oleh masyarakat Lokal
binongko.
La Kakadu yang ketika menjamu tamunya, karena
mengaku adalah saudaranya yang telah lama menghilang, belum langsung
mempercayainya, “kalau benar La Soro (Penemu atau pemilik pulau Bitokawa)
adalah saudaraku akan kita buktikan kesaktianmu”, ucap LaKakadu. Tanpa menunggu
lama keduanya saling menguji kesaktiannya, yang saat ini masih disebut tempat
jatuhnya Raja Pati La Soro. Dalam adu kanuragan LaKakadu menendang Raja Pati
LaSoro, hingga terperesok kedalam tanah sedalam 7 depa, selanjutnya di Cabut
dari dalam tanah (saat ini disebut Kahea Koba), Kahea artinya Lubang, sedangkan
Koba artinya dicabut, jelasnya.
Setelah LaSoro mendapat ujian dari LaKakadu,
tibalah gilirannya untuk menguji La Kakadu. Secara tangkas LaSoro memutar
Lakakadu dengan menggunakan ujung jarinya, sehingga La Kakadu bermuntah-muntah,
lantas dia dilemparkan ke udara dan jatuhnya tepat di tanjung Pemali (Matano
Sangia Burangasi) di Pulau Buton. Mengingat karena hal itu hanya ujian
kanuragan, LaSoro menarik kembali LaKakadu untuk di kembali ketempat semula di
Ohiu Pulau Binongko. Sehingga mulai saat itu keduanya saling membenarkan bahwa
keduanya memang bersaudara, anak cucu dari Raja Patua Sumahil Tahim Alam,
selanjutnya sebagai fakta sejarah tempat uji coba kesaktian itu, disebut Oihu
artinya berarti saudara (Toih’u atau Oih’u), papar La Baru. ”Raja Pati LaSoro
yang dikenal Sakti Mandraguna, usianya tercatat lebih kurang 600 tahun, selain
itu mempunyai kelebihan atau dalam bahasa Wali (Cia-Cia) disebut (Kalabia
Mimbali)”.
Sementara itu La Ode Illa dalam keterangannya kepada
Radar Buton mengatakan, Kapitan Waloindi pada tahun 1975, seorang sejarawan
Wali bernama Ama Huji, ketika ditemui 4 orang peneliti sejarah yang berasal
dari Sumatera, kala itu disaksikan oleh La Ode Illa, La Ode Sehe mantan Kepala
Desa Wali yang pernah menjabat pada tahun 1955 - 1979, dan selanjutnya diamini
oleh LaOde Jaidi (Iyaro Agama Sarano Wali), sempat mendiskusikan asal-usul
Kapitan Waloindi, tepatnya di Baruga Sarano Wali Binongko.
Dalam penjelasannya Iyaro Agama, Raja Pati La
Soro yang sering dikenal dengan nama Kapitan Waloindi, berasal dari daerah
mongol, namun sebelumnya dalam pencarian sanak saudaranya beliau sempat singga
di Gorontalo, selanjutnya menuju ke Binongko. Menariknya dalam kisah pencarian
Raja Pati Lasoro ini, setibanya di Binongko, dia La Soro di kabarkan mencari
anak cucu Patua (Sumahil Tahil Alam).
Selanjutnya Iyaro Agama menjelaskan, perjuangan
Kapitan Waloindi di pulau Tukang Besi ini, sangat besar pengaruhnya. Pasalnya,
di Kepulauan Tukang Besi pada saat itu, sedang gencarnya perebutan kekuasaan
antara perampok Bajak Laut dari wilayah Tobelo, Ternate, maupun Kerajaan Buton.
Karena itu dibutuhkan peranan seorang pahlawan seperti halnya Kapitan Waloindi.
Bersama para pejuang lainnya di Kepulauan Tukang besi maka dibangunlah kekuatan
Bala tentara, yang hingga saat ini, tidak akan terlupakan dalam lembaran
sejarah kerajaan Binongko, karena jasanya menumpas para Bajak laut, hingga saat
ini cerita sejarah Kapitan Waloindi dimasyarakat daerah Wakatobi masih selalu
diperdengarkan hingga saat ini.
Selanjutnya pada Abat 1334 M, kerajaan Binongko
di Wali Koncu patua ketika di taklukan oleh Sapati Baaluwu atas nama kerajaan
Buton, maka pada saat itu, empat kerajaan bersaudara Bitokawa masing-masing
kerajaan berpusat di Patua Tomia, di Palea Kahedupa, Kerajaan Wanse di Liya
Wangiwangi.
Hal ikhwal ditaklukannya kerajaan Bitokawa oleh
Kerajaan Buton kala itu, sesuai nara sumber sejarah diwilayah Buton, antara
Kapitan Waloindi dan Sapati Baaluwu, sempat terjadi pertempuran antara keduanya
selama sehari. Namun karena keduanya tidak nampak akan adanya yang kalah dan
menang, maka Kapitan Waloindi, meminta agar pertempuran dihentikan sementara.
Dalam jedah waktu tersebut Kapitan Waloindi ketika menatap roman muka Sapati
Baaluwu, maupun gerak gerik lawannya itu, yang tidak ada gentarnya.
Maka keduanya berinisiatif, untuk saling membuka
rahasia, selanjutnya berunding, untuk tidak memperpanjang pertempuran, guna
tidak memakan banyak korban nyawa. Dan dalam bahasa rahasia Kapitan Waloindi
memulai membuka Rahasia hidupnya, kalau ingin mengalahkan Kapitan Waloindi,
Rahasianya tersimpan ditelapak kakinya. Sapati Baaluwu, mendengar terbukanya
Rahasia Kapitan Waloindi...dia berjanji telah tiba saatnya, ”Engkaulah Sapati
Baaluwu yang meneruskan Kerajaan Binongko, untuk dipersatukan di bawah naungan
Kerajaan Butuni (Buton). Dan bertindaklah yang adil, bijaksana dalam setiap
langkahmu”, ungkap Kapitan Waloindi.
Bukti sejarah pertempuran kedua pendekar ini
sampai saat ini, masih ada di pantai Pasir Palahidu, dimana secara Haebu
(Rahasia), Kapitan Waloindi menyerahkan dengan suka relah telapak kakinya
kepada Sapati Baaluwu untuk dibelah kakinya. Dan sejak itu tempat
pertarungannya di sebut Pallahidu (Pala artinya Telapak, Hidu artinya Hidup
atau Hayat). Hal ini, juga diakui oleh sumber Radar Buton La Herani: pada tahun
2002. Selanjutnya Kapitan Waloindi berkata kepada masyarakatnya, dan sanak
keluarganya, ”Kujalau (Aku jalan kaki lewat laut), Jalan tete, jalan tete
(Kepergian seorang Kakek), Tamosio-siomo (kita akan berpisah-pisah), Mina dhi
Wali Saranakamo LaOde (di Wali akan diserahkannya kepemimpinannya), Asumawimo
di Watu Maria Khu Rumope Dhi Ambo Soea (Kumenumpang dipeluruh meriam atau
Bedil, Kumenuju Ambon, Soea), sumber La Isamu Kaluku pada tahun 2004.
Diriwayatkan juga, setelah Kapitan Waloindi
dibelah kakinya oleh Sapati Baaluwu, maka Kapitan Waloindi menghilang secara
misterius menuju Timur, Ambon, dan tinggal di Gunung Soea, untuk melanjutkan
pertapaannya. Keberadaan Kapitan Waloindi, di gunung Soea Ambon tidak diketahui
orang-orang Bitokawa (Wakatobi), maupun orang Buton yang lebih dahulu bermukim
di Ambon, kecuali orang-orang yang bisa memegang rahasia (Manusia Rahasia),
baru dapat mengenalnya.
Pada tahun 1511 M, setelah sekian lama Kapitan
Waloindi bermukim di gunung Soea Ambon. Namun tidak seorangpun yang tahu kalau
beliau adalah seorang yang Ksatria dan mandraguna. Beliau dianggap orang biasa
saja. Kapitan Waloindi mulai dikenal sebagai pendekar setelah dia masuk tentara
Protugis pada tahun 1511 M, selanjutnya bertempur dengan unifprm pasukan
tentara Protugis, menyerang dan memukul mundur pasukan Belanda. Karena itu,
maka dia Kapitan Waloindi serya membangkitkan semangat rakyat Ambon Maluku, dia
juga membentuk pasukan bala tentara untuk menghadapi ancaman penjajah Belanda
(VOC).
Sebagai teman karib Kapitan Waloindi yang setia
masing-masing; LaTulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina Marta Tiahahu
(seorang anak putri Paulus Tiahahu) dan Kapitan Patipelohi (Patipelong),
berjuang bahu membahu untuk mengusir penajajah Belanda, kala itu, dikenal
dengan merebut Benteng Duursetede Ambon dari tanggal 15-16 Mei 1817.
Setelah menguasai Benteng Duursetede Ambon, dia
Kapitan Waloindi yang lebih akrab dipanggil sahabat-sahabatnya dengan nama
Patimura, karena Hatinya murah, mulia. Selain itu Kapitan Waloindi juga
dipanggil oleh sahabat-sahabatnya La Hatimura atau LaMura. Disebutkannya dengan
nama Patimua itu, karena dia Raja Pati yang berhati mulia (bermurah hati),
beliau relah membantu orang-orang yang lemah dan teraniaya, sehingga gelarnya
semakin lama, maka oleh sahabat-sahabat, mengkukuhkan namanya menjadi, ”Thomas
Matulesi Patimura”. Berdasarkan kajian riwayat sejarah lisan kuno Wali
Binongko, yang digantung oleh Belanda didepan Benteng Victoria Kota Ambon pada
tanggal 16 Desember 1817 itu, adalah bukan Patimura, melainkan seorang
mata-mata Belanda yang kebetulan wajahnya sama, mirip dengan Patimura.
Sedangkan Kapitan Waloindi atau Patimura telah
merubah wajah bersama La Tulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina
Tiahahu, dan Kapitan Patipelohi kala itu sedang dalam tahanan Belanda,
selanjutnya mereka diasingkan ke tanah jawa. Namun ketika diberangkatkan dengan
kapal, sesampainya di sekitaran Laut Buru, kapal tersebut kehabisan makanan dan
air minum. Maka kalangan pendekar yang menjadi tahanan Belanda dikapal
tersebut, melakukan pemberontakan, dan membunuh habis para penghianat (Belanda)
selanjutnya mengarahkan kapal tersebut ke Pulau Tukang Besi, tepatnya dipantai
Patuhuno (orang yang turun), dan saat ini disebut ”Patuno”, pulau wangi-wangi.
Keberadaan tahanan Belanda ini, setibanya di
pulau Wangiwangi disambut dengan gembira oleh masyarakat Wangiwangi. Namun
mata-mata Belanda sebaliknya tidak tinggal diam, malah melaporkannya, berada di
pulau Wangiwangi. Raja Hitu (Latulukabesi), bersama Paulus Tiahahu, dan
Cristina Tiahahu mendengar telah diketahui oleh mata-mata Belanda tentang
keberadaannya di Wangiwangi, setelah mendapat tumpangan mereka kembali ke
Ambon, tanpa diketahui oleh mata-mata Belanda.
Sedangkan Kapitan Patipelohi (Patipelong) menuju
ke Pulau Tomia dan kawin dengan putri Ince Suleman (Dato Suleman) penyiar agama
Islam di Tomia. Sementara Kapitan Waloindi kekampung halaman di Binongko
menemui anak cucunya yang kala itu dia tinggalkan kurang lebih 483 tahun.
Ironisnya, setibanya Kapitan Waloindi di Binongko
terdengar oleh mata-mata Belanda dan akhirnya beliau dicari oleh Belanda hingga
sampai ke pulau Binongko. Namun ketika Kapal Belanda yang memuat 7 Kompi Bala
Tentara Belanda untuk menangkap Patimura, malah yang terjadi sebaliknya tentara
Belanda dihabisi oleh Kapitan Waloindi.
Sebagai Bukti peninggalan sejarah, kapal Belanda
yang berlabuhnya di Taduna itu oleh masyarakat Binongko, tempat itu diberi nama
kampung Nato, letaknya tidak jauh dari pantai perkampungan Walanda (Belanda),
meskipun hingga saat ini masih dirahasiakan.
Kampung lama atau Kampung Molengo atau mangingi,
disinilah Kapitan Waloindi menghembuskan nafas terakhirnya, dan nama Kapitan
Waloindi telah diabadikan menjadi nama desa, di kecamatan Togo Binongko
Wakatobi. Kesaktian Kapitan Waloindi di Zaman seperti ini, sepertinya tidak
masuk akal, namun tidak salah untuk kita kagumi, karena hal itu terjadi pada
zamannya.
0 Response to "MENELUSURI JEJAK PATTIMURA DI BINONGKO"
Post a Comment